April 26, 2025

Bistrokingenglewood | Kuliner Terlezat Dunia

Ratusan jenis hidangan kuliner dari tiap negara dengan cita rasa terlezat di dunia

Es Batang Kayu dengan Air Mentah: Segarnya Menggoda, Risiko Kesehatannya Mengintai

Di tengah teriknya cuaca tropis Indonesia, segelas es dingin memang sulit untuk ditolak. Dari kota besar hingga pelosok desa, minuman es dengan berbagai variasi selalu punya tempat di hati masyarakat. Namun di balik kesegaran itu, tak sedikit produk es yang justru menyimpan bahaya tersembunyi, seperti salah satu yang masih banyak dijumpai di beberapa daerah: es batang kayu dengan air mentah.

Es ini umumnya diproduksi secara massal oleh pabrik rumahan rajazeus atau industri kecil, menggunakan cetakan besar berbentuk silinder atau balok panjang. Untuk menghemat biaya produksi, air mentah dari sumur atau sungai sering kali digunakan sebagai bahan baku utama, tanpa proses penyaringan atau perebusan terlebih dahulu. Es yang sudah membeku lalu dibawa menggunakan truk terbuka, dilapisi goni basah, dan dikirim ke pedagang minuman kaki lima.


Es Kayu: Tradisi yang Belum Hilang

Es batang kayu—disebut demikian karena bentuk dan cara distribusinya—merupakan warisan dari era sebelum teknologi pendingin modern tersebar luas. Dulu, saat kulkas masih menjadi barang mewah, es ini jadi satu-satunya cara masyarakat mendapat minuman dingin. Bahkan hingga kini, di banyak tempat seperti pasar tradisional, warung pinggir jalan, hingga pedagang keliling, es ini masih digunakan karena murah dan mudah didapat.

Biasanya, es batang dipotong kecil-kecil dengan gergaji atau golok besar, lalu dicampurkan ke dalam es sirup, es campur, es buah, hingga es teh. Sayangnya, proses pemotongan ini sering dilakukan di atas lantai atau talenan kotor, bahkan langsung dari truk pengangkut yang tidak higienis.


Risiko Kesehatan: Lebih dari Sekadar “Kotor”

Penggunaan air mentah sebagai bahan baku es menyimpan risiko besar bagi kesehatan. Air yang tidak dimasak bisa mengandung bakteri berbahaya seperti E. coli, Salmonella, hingga parasit penyebab diare dan tifus. Saat dikonsumsi dalam kondisi beku, bakteri ini tidak langsung mati, dan saat es mencair dalam minuman, mereka bebas masuk ke tubuh.

Beberapa kasus penyakit pencernaan seperti muntaber dan infeksi saluran cerna yang dialami masyarakat kerap dikaitkan dengan konsumsi es yang tidak higienis. Terlebih pada anak-anak, lansia, atau orang dengan daya tahan tubuh lemah, risiko infeksi jauh lebih tinggi.

Selain itu, kontaminasi bisa terjadi pada tahap distribusi. Truk pengangkut es biasanya tidak dilengkapi pendingin, dan es dibawa tanpa wadah steril. Campuran antara debu jalanan, asap kendaraan, serta tangan-tangan yang memindahkan es bisa menambah risiko paparan mikroba.


Upaya Pengawasan dan Solusi

Meski pemerintah melalui BPOM dan Dinas Kesehatan sudah sering memberikan edukasi soal pentingnya es yang sehat, pengawasan terhadap produsen es masih lemah. Tak sedikit produsen rumahan yang tidak memiliki izin atau sertifikat layak konsumsi, namun tetap beroperasi karena permintaan pasar tinggi.

Beberapa solusi bisa diupayakan, antara lain:

  • Edukasi pedagang minuman untuk menggunakan es batu konsumsi berstandar SNI, yang dibuat dari air matang dan diproses secara higienis.

  • Pengawasan lebih ketat terhadap pabrik es skala kecil oleh pemerintah daerah.

  • Mendorong penggunaan kulkas dan freezer rumahan oleh pedagang kecil agar bisa membuat es sendiri dari air bersih.

  • Masyarakat juga perlu lebih kritis terhadap asal usul es yang mereka konsumsi, terutama jika membelinya dari pedagang kaki lima.

BACA JUGA: Restoran Bintang Michelin: Puncak dari Santapan Mewah

Share: Facebook Twitter Linkedin

Comments are closed.